Minggu, 24 Oktober 2010

Pernikahan Nabi SAW Dengan Aisyah

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, “Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam.Dia melanjutkan, “Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.
Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.
Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.

Rabu, 15 September 2010

Bolehkah Mengusap Jilbab Ketika Berwudhu?

Sering kali, seorang muslimah berjilbab merasa kesulitan jika harus berwudhu di tempat umum yang terbuka. Maksud hati ingin berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu secara langsung. Akan tetapi jika hal itu dilakukan maka dikhawatirkan auratnya akan terlihat oleh orang lain yang bukan mahram. Karena anggota wudhu seorang wanita muslimah sebagian besarnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat yang rojih (terkuat).Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada pada kondisi yang demikian?
Saudariku, tidak perlu bingung dan mempersulit diri sendiri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kemudahan dan keringanan bagi hamba-Nya dalam syari’at Islam ini. Allah Ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al Baqarah: 185)Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai hukum wudhunya seorang muslimah dengan tetap mengenakan jilbabnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan.

Rabu, 18 Agustus 2010

16 Kekeliruan Umum Selama Ramadhan

Meski Ramadhan adalah bulan ampunan, untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini kami sarikan 16 kekeliruan umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan
Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin. “Berapa banyak orang yang shaum (tapi) tak memperoleh apa-apa dari shaumanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i)
Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar shaum kita tahun ini, lebih paripurna dan bermakna.

Rabu, 11 Agustus 2010

TAHLILAN

TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


"Artinya : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap"

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.
aya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.

Senin, 09 Agustus 2010

TRADISI MENGIRIM DO'A DAN BACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MENINGGAL

Pendapat:
  • Amalan mensedekahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada si mati adalah tidaktsabit dari sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
  • Pahala bacaan al-Qur’an yang disedekahkan kepada orang yang telah mati adalah tid ak sampai.

Penjelasan:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Terjemahan: Bahawasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain, dan bahawasanya seorang manusia tidak mendapat selain apa yang
telah diusahakannya. (Surah an-Najm, 53: 38-39)
‫Terjemahan: Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup. (Surah Yaasiin, 36: 69-70)

Terjemahan: Setiap diri bertanggungjawab ke atas apa yang telah dilakukannya.(Surah al-Muddatsir, 74: 38)

Terjemahan: Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Surah al-Baqarah, 2: 286)

Terjemahan: Sesiapa yang mengerjakan amal yang soleh, maka amal tersebut adalah untuk dirinya sendiri dan sesiapa yang melakukan kejahatan (dosa), maka itu adalah atas dirinya sendiri dan tidaklah Tuhanmu menganiaya hambanya. (Surah Fushilat, 41: 46)

Terjemahan: Kamu tidak akan diberi balasan melainkan apa yang telah kamu usahakan. (Surah as-Saffat, 37: 39)

Terjemahan: Sesiapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya dan sesiapa yang beramal soleh, maka amal tersebut adalah untuk diri mereka sendiri. (Surah ar-Ruum, 30: 44)

Terjemahan: Maka pada hari kiamat tiada seorang pun yang dianiaya dan tidak
dibalas kepada kamu melainkan apa yang kamu telah kerjakan. (Surah Yasin, 36:54)

Penjelasan Para Ulama Bermazhab Syafi'e:
Berkenaan ayat 38-39 surah an-Najm, di antaranya al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya:

Terjemahan: “Firman Allah (maksudnya: Dan sesungguhnya seseorang manusia itu tidak mendapat (pahala) selain daripada apa yang telah mereka usahakannya).
Di sini bermaksud:
Ia itu sebagaimana seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain, maka begitu jugalah bahawa seseorang itu tidak akan mendapat ganjaran (pahala) melainkan dari apa yang telah dia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’e bersama para ulama yang mengikutinya telah
mengeluarkan hukum bahawa bacaan al-Qur’an tidak akan sampai hasil sedekah pahalanya kepada orang yang telah mati. Kerana bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha dia sendiri.
Atas sebab itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah mensyari'atkan kepada umatnya (supaya menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang mati) dan tidak juga pernah menyukai atau memberikan petunjuk kepada mereka sama ada dengan nash (dalil yang jelas/terang) dan tidak juga dengan isyarat serta tidak dinukilkan dari walau seorang pun sahabat (bahawa mereka pernah mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah mati).
Jika sekiranya amalan tersebut baik, sudah tentu para sahabat telah mendahului kita di dalam mengamalkannya.
Dan di dalam permasalahan ibadah, ianya hanya terbatas (terhenti) berdasarkan dalil dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas (analogi) atau pendapat-pendapat (pemikiran) tertentu.”
Lihat: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anil Azhim, 7/465. Juga sebagaimana yang
dinukilkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Ahkamul Jana'iz, 1/174.
Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan berkenaan perkataan Ibnu Katsir di atas katanya
):
‫وما ذكره ابن كثير عن الشافعي رحمه الله تعالى هو قول أكثر العلماء وجماعة من، الحنفية كما نقله‬
369 / 10 (‫الزبيدي في )شرح الحياء‬

Terjemahan: Apa yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dari asy-Syafi'e rahimahullah tersebut adalah merupakan pendapat majoriti ulama dan sekelompok pengikut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinukilkan oleh az-Zubaidi di dalam Kitab Syarah al-Ahyaa', 9/369. (Lihat: Syaikh al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/174) Perkataan Imam asy-Syafi'e rahimahullah

‫فأعلم رسول الله مثل ما أعلم الله من أن جناية كل امرئ عليه كما عمله له ل لغيره ول عليه‬

Terjemahan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah memberitahu sebagaimana yang diberitahu oleh Allah, bahawasanya dosa setiap orang adalah untuk kecelakaan dirinya sendiri sebagaimana amalannya yang juga buat dirinya sendiri dan bukan untuk kecelakaan orang lain.
Lihat: Ikhtilaful Hadis, 1/538, (‫ ,)‬Maktabah Syamilah.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata

‫Terjemahan: “Ada pun berkenaan bacaan al-Qur’an maka yang masyhur di kalangan mazhab asy-Syafi'e bahawa tidak sampai pahala bacaan yang dikirim kepada orang yang telah mati dan sebahagian sahabat berpendapat sampai pahala bacaan kepada si Mati.”Kemudian beliau menjelaskan lagi:

Terjemahan: “Dan semua mazhab-mazhab tersebut (yang membolehkan menghadiahkan pahala kepada orang mati) adalah jelas lemahnya, dan dalil yang mereka gunakan untuk membolehkan (amalan sedekah pahala kepada si mati) hanyalah qias yang diqiaskan dengan doa, sedekah dan haji.
Maka sesungguhnya ianya tidak sampai secara ijmak (kesepakatan ulama).
Dan dalil asy-Syafi’e serta mereka yang mengikutinya adalah (ayat al-Qur’an):
(Sesungguhnya tidaklah ada yang diperolehi oleh setiap manusia, kecuali apa
yang telah diusahakan).
“Apabila mati anak Adam, terputuslah amalannya kecuali
tiga perkara (iaitu): 1 - Sedekah jariah, 2 - ilmu yang bermanfaat dan 3 -
anak yang soleh yang mendoakannya”.”
Lihat:Imam an-Nawawi, Syarah an-Nawawi‘ala Muslim, 1/90.
Di dalam kitab yang sama, beliau meletakkan sebuab bab bernama:
‫‬
Terjemahan: Bab Sampaikah Kepada Mayat (pahala) Sedekah Yang Diberikan Atas Namanya.
Kemudian beliau menjelaskan‫
Terjemahan: Dan yang masyhur di dalam mazhab kami (Mazhab asy-Syafi'e)
adalah pahala bacaan al-Qur'an itu tidak sampai pahalanya (kepada si mati).
Lihat: Imam an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim, 7/89-90.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah berkata

Terjemahan: “Mayat tidak boleh dibacakan al-Qur’an ke atasnya sebagaimana
keterangan yang ditetapkan oleh orang-orang terdahulu, bahawa bacaan al-
Qur’an pahalanya tidak sampai kepada si Mati, lantaran pahala bacaan hanya
untuk si Pembaca. Pahala amalan pula tidak boleh dipindah-pindahkan dari si
pembuat berdasarkan firman Allah Ta’ala: Dan manusia tidak memperolehi pahala
kecuali dari amalan yang mereka telah usahakannya sendiri.”Lihat: Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, 2/26.
Al-Hafiz Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya sekali lagi:

Terjemahan: Sebagaimana tidak dipertanggungjawabkan dosa orang lain, begitulah juga seseorang itu tidak mendapat ganjaran melainkan apa yang telah dia kerjakan (usahakan) sendiri.
Lihat: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'anil Adzim, 7/465.
Juga:

Terjemahan: Sesungguhnya manusia itu hanya menerima balasan berdasarkan amalnya, jika baik, maka baiklah balasannya dan jika buruk, maka buruklah balasannya dan bahawasanya seseorang itu tidaklah menanggung dosa bagi seseorang yang lain.
Lihat: al-Hafiz Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'anil Adzim,3/384.
Pendapat Para Ulama Lainnya:
Imam ath-Thabari rahimahullah

Terjemahan: Bahawasanya seseorang itu tidak menerima balasan amal, melainkan dari apa yang telah dia usahakan, sama ada amalnya yang baik atau yang buruk. (Lihat: Muhammad B. Jarir ath-Thabari, al-Jami'ul Bayan fi Ta'wilul Qur'an, 22/546)
Juga:
‫‬
Terjemahan: Tidaklah disiksa seseorang itu dengan sesuatu siksaan sekiranya dia tidak mengerjakan dosa tersebut, dan tidaklah dia diberi ganjaran di atas amal soleh yang mana dia tidak mengerjakannya. (Lihat: Muhammad B. Jarir ath-Thabari, al-Jami'ul Bayan fi Ta'wilul Qur'an, 22/547)
Di dalam Tafsir Jalalain

Terjemahan: Maka seseorang itu tidaklah mendapat apa-apa pun (pahala) dari usaha orang lain. (Tafsir al-Jalalain, 10/334) Imam asy-Syaukani rahimahullah

Terjemahan: Seseorang tidak akan mendapat melainkan balasan atas usahanya dan ganjaran amalan (yang dia sendiri amalkan), dia tidak memberi manfaat (pahalanya) kepada orang lain. (Lihat: Muhammad B. 'Ali asy-Syaukani, Fathul Qodir al-Jami' Baina fani ar-Riwayah wa ad-Dirayah min 'Ulumut Tafsir, 7/78)
Syaikh 'Abdul 'Aziz B. Baz Rahimahullah:

Terjemahan: Adapun yang tepat adalah pandangan pertama kerana berdasarkan hadis yang disebutkan dan apa yang jelas adalah menunjukkan makna yang sama. Sekiranya menghadiahkan pahala bacaan (al-Qur'an) itu disyariatkan, sudah tentu ia dilakukan (diamalkan) oleh para salafussoleh. Sedangkan dalam perkara ibadat kita tidak wajar melakukan qiyas padanya, ini adalah kerana ia
bersifat tawfiqiyyah (terhenti pada dalil). Tidak tsabit melainkan dengan nash dari kalamullah (perkataan Allah) atau sunnah rasul sebagaimana hadis yang dijelaskan pada awal tadi. (Lihat: Web Rasmi Samahatusy Syaikh 'Abdul 'Aziz Bin Baz:

Perkataan Syaikh Ibnu Baaz di atas berkenaan sesuatu ibadah itu adalah tawqifiyah (tidak dibuat melainkan dengan adanya dalil), sebenarnya merupakan kaedah asas yang telah digunakan dan difahami oleh para ulama dari era awal lagi.
Ini dapat kita lihat antaranya dari al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolani rahimahullah, beliau menjelaskan

Terjemahan: Perlaksanaan di dalam ibadat adalah dengan mengikuti/mengambil dari apa yang telah ditetapkan (melalui dalil). (Lihat: al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolani, Kitab Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhari, 2/80)
Berdasarkan kesepakatan ini, maka tidaklah boleh untuk kita mereka-cipta suatu bentuk amal-amal ibadah yang lain selain dari apa yang telah terdapat di dalam Sunnah. Tidaklah wajar untuk kita mendahului perkataan Allah dan sunnah Rasul-Nya di dalam menetapkan sesuatu urusan ibadah di dalam agama.

Seorang ulama Mesir, Syaikh Muhammad B. Ahmad Abdus Salam melalui tulisannya telah membuat kesimpulan setelah mengulas secara panjang lebar berkenaan perkara ini, beliau menyatakan:
Dilarang membaca ayat-ayat al-Qur'an kepada ahli kubur. Sebuah khabar (atsar) yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu yang menceritakan bahawa beliau (Ibnu 'Umar) pernah berwasiat, sekiranya beliau telah meninggal dunia, supaya dibacakan Surah al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir dari Surah al-Baqarah di atas kuburnya. (Bahawasanya) Atsar tersebut darjatnya adalah Syazd (ganjil), sanadnya tidak sahih. Dan tidak seorang pun di antara para sahabat yang
mengakuinya.

Begitu juga dengan riwayat-riwayat tentang membaca Surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, at-Takatsur, al-Kafiruun, dan menghadiahkannya kepada ahli kubur adalah palsu. Ini adalah kerana ianya bertentangan dengan perkataan-perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan perbuatan para sahabatnya.
(Muhammad Bin Ahmad Abdus Salam, Hukumul Qiraati lil Amwati Hal Yashilu Tsawabuha Ilaihim (Edisi Terjemahan: Hukum Membaca al-Qur'an Untuk Orang Mati Sampaikah Pahalanya Kepada Mereka?) Tahqiq Syaikh Mahmud Mahdi al-Istabuli, m/s. 43, Media Da'wah) Selain itu, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah turut menjelaskan

Terjemahan: Bukan merupakan kebiasaan para ulama salaf (ulama generasi awal/para sahabat), iaitu jika mereka mengerjakan puasa, solat, atau haji tathawwu', atau membaca al-Qur'an, pahalanya dihadiahkan (disedekahkan) kepada kaum Muslimin yang telah meninggal dunia. Kerana itu, tidak sewajarnya untuk menyimpang dari jalan ulama Salaf kerana mereka lebih baik dan sempurna. (Dinukil dari: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/174)
Selain pendapat tersebut, Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah juga memiliki pendapat lain yang berlawanan dengan pendapatnya yang disebutkan di atas dan malah berlawanan dengan pegangan para salaf. Beliau menyatakan bahawa orang yang meninggal dunia itu dapat mengambil manfaat dari semua ibadah yang dilakukan oleh orang lain yang masih hidup. Namun, pendapat beliau ini hanya semata-
mata berpandukan kepada qiyas (analogi) dan tidak berpijak dengan dalil yang jelas.
Pendapat beliau telah pun dikritik (diberi bantahan) secara ilmiyah oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha di dalam Kitabnya, Tafsir al-Manar (8/254-270). (Rujuk: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/174)
Dan perlu kita fahami bahawa, setiap pendapat dan perkataan manusia itu boleh diterima atau pun ditolak dengan dinilai berpandukan kepada dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Kecuali perkataan manusia bergelar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka hendaklah kita menerimanya.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berpesan:

Terjemahan: Tidak halal bagi seseorang untuk mengikuti perkataan kami sekiranya dia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya. (Lihat:Syaikh Soleh al-Munajjid, Fatawa Islam Su'al wa Jawab, 1/3. Syaikh al-Albani, Sifat Sholat Nabi, 1/46) Imam Malik Bin Anas rahimahullah

Terjemahan: Aku hanyalah seorang manusia, adakalanya salah dan adakalanya benar. Oleh sebab itu, perhatikanlah pendapatku. Apabila ianya bertepatan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka ambillah, dan apabila ianya tidak bertepatan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, tinggalkanlah ia. (Lihat: Ibnu 'Abdil Barr, al-Jami', 2/32. Dinukil dari: al-Albani, Sifat Solat Nabi, 1/48)
Imam asy-Syafi'e rahimahullah:

Terjemahan: Apabila kamu menemui sesuatu di dalam kitabku yang berlainan dengan hadis Rasulullah, peganglah hadis Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu. (Lihat: Imam an-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhazzab, 1/63)
Apa Yang Bermanfaat Untuk Orang Yang Telah Meninggal Dunia?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

Terjemahan: Dari Abi Hurairah (radhiyallahu 'anhu) Bahawasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda: Apabila manusia itu telah meninggal dunia, maka terputuslah amalan-amalannya melainkan tiga perkara, (iaitu) 1 –Anak yang soleh yang mendoakannya, 2 – Sedekah jariyah yang pernah dilakukannya, atau 3 – Ilmunya yang dimanfaatkan. (Hadis Riwayat Muslim,
Shohih Muslim, Kitab al-Wasiyah, 8/405, no. 3084. at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi,Kitab al-Ahkam, 5/243, no. 1297)
Si mati juga mendapat ganjaran (pahala) dari hasil amal soleh yang dikerjakan oleh anak-anaknya. Ini adalah disebabkan kerana anak-anak itu termasuk kedalam kategori usaha dan hasil kerja si mati (kedua ibu bapa).
Ini adalah berdasarkan kepada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

Terjemahan: Dan bahawasanya seseorang manusia itu tidak mendapat (pahala) melainkan dari apa yang telah diusahakannya. (Surah an-Najm, 53: 39)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
‫‬
Terjemahan: Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang itu adalah makanan yang diperolehi (terhasil) dari usahanya sendiri. Sesungguhnya anak itu termasuk dari hasil usahanya. (Hadis dari 'Aisyah. Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad Tahqiq Syaikh Shu'aib al-Arnauth, 40/34, no. 24032. Beliau menjelaskan,
hadis ini hasan lighairihi. Diriwayatkan juga oleh al-Hakim, al-Mustadrak, 2/53, no. 2295 dengan dinyatakan oleh adz-Dzahabi sebagai sahih. Syaikh al-Albani didalam Ahkamul Jana'iz menjelaskan bahawa hadis ini tidak mencapai darjat sahih.
Namun hadis ini memiliki penguat. Rujuk: Ahkamul Jana'iz, 1/171)
Selain itu, ia turut diperkuatkan dengan beberapa hadis yang lain yang sahih.
Maka, apa sahaja amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh anak-anak si mati, maka si mati akan beroleh manfaat (ganjaran pahala) dari perbuatan anak-anaknya tersebut.
Amalan/Ibadah Tidak Boleh Direka-reka Hadis Nabi

Terjemahan: Jauhilah olehmu perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam addien) kerana sesungguhnya setiap bid'ah (perkara yang baru yang diada-adakan di dalam agama) adalah sesat. (Hadis Riwayat Ibnu Majah, Sunan Ibni
Majah, 1/49, no. 42. Disahihkan oleh al-Albani, Shohih Sunan Ibni Majah, 1/13, no. 42. Hadis Nabi dari 'Irbadh B. Sariyah)
Perlu kita fahami bahawa setiap bentuk amal ibadah yang hendak dilaksanakan (ditegakkan), hendaklah terlebih dahulu memiliki rujukan dan sandarannya dari dalil-dalil yang sahih lagi jelas. Jika sesuatu yang dianggap ibadah itu tidak memiliki sandarannya dari dalil yang jelas, maka ia boleh dipertentangkankan karena tidak merujuk pada dalil yang qoth'i.
Malah, ia mungkin menjadi atau menjurus kepada bid'ah, iaitu suatu bentuk amalan yang dilaksanakan bagi tujuan meraih keredhaan Allah, namun ia tidak bertunjangkan kepada dalil yang jelas.
Disunnahkan Mendoakan Orang Yang Telah Meninggal Dunia Mendoakan si Mati adalah sunnah hukumnya bersandarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

Terjemahan: Dan orang-orang yang datang setelah mereka itu akan berkata (berdoa): Wahai Rabb kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman (terlebih dahulu) sebelum kami. Surah al-Hasyr, 59: 10)

Terjemahan: Wahai Tuhan kami! Berilah keampunan kepadaku dan kedua ibu bapaku dan seluruh orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab. (Surah Ibrahim, 14: 41)

Terjemahan: Dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu dan bagi orang-orang yang beriman. (Surah Muhammad, 47: 19)
Hadis Nabi:

Terjemahan: Doa seorang Muslim untuk saudaranya dari kejauhan akan dikabulkan. Di atas kepalanya terdapat malaikat yang bertanggungjawab. Setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang bertugas akan mengucapkan: Amiin dan bagimu yang seumapamnya. (Hadis Riwayat
Imam Muslim, Shohih Muslim, 13/271, Kitab Zikir dan Doa, no. 4914. Dari hadis Abu Darda' rahiyallahu 'anhu)
Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan
‫إن صلة الجنازة جلها شاهد لذلك، لن غالبها دعاء للميت‬
‫واستغفار له، كما تقدم بيانه‬
Terjemahan: Sesungguhnya, Shalat jenazah itu menjadi bukti akan perkara tersebut (mendoakan si mati) di mana sebahagian besar darinya adalah doa untuk jenazah sekaligus permohonan ampun baginya. (Lihat: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/169)

Dibolehkah Bagi Wali/waris Untuk Membayar Hutang Shaum Si Mati

Terjemahan: Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, bahawasnaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: siapa yang meninggal dunia namun dia masih memiliki hutang shaum, maka walinya yang akan membayarnya.
(Hadis Riwayat al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, 7/51, Kitab ash-Shaum (Puasa), no. 1816)
shaum yang dimaksudkan di dalam hadis tersebut adalah merujuk kepada shaum nadzar yang tidak sempat ditunaikan. Ada pun puasa-puasa yang selainnya, maka ia tidak perlu diganti dibayarkan)

Terjemahan: Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu (beliau berkata): Bahawasanya Sa'ad Bin 'Ubadah radhiyallahu 'anhu pernah meminta pandangan (penjelasan) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam:
Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia namun beliau masih memiliki hutang shaun nadzar?
Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Bayarlah untuknya. (Hadis Riwayat al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, 9/306, Kitab al-Washoya, no. 2555)
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata

‫وهذه الحاديث صريحة الدللة في مشروعية صيام الولي عن الميت صوم النذر، إل أن الحديث الول‬
‫يدل بإطلقه على شئ زائد على ذلك وهو أنه يصوم عنه صوم الفرض أيضا . وقد قال به الشافعية، وهو‬
‫مذهب ابن حزم )7 / 2 ، 8( وغيرهم. وذهب إلى الول الحنابلة، بل هو نص المام أحمد، فقال أبو داود‬
‫في )المسائل( )69(: )سمعت أحمد بن حنبل قال: ل يصام عن الميت إل في النذر(. وحمل أتباعه‬
:‫الحديث الول على صوم النذر، بدليل ما روت عمرة: أن أمها ماتت وعليها من رمضان فقالت لعائشة‬
‫.أقضيه عنها؟ قالت: ل بل تصدقي عنها مكان كل يوم نصف صاع على كل مسكين‬

Terjemahan: Hadis-hadis tersebut secara jelas menunjukkan disyari'atkan pembayaran hutang shaum nadzar oleh wali bagi orang yang meninggal dunia.
Hanya saja, hadits yang pertama dengan kemutlakkannya menunjukkan lebih dari itu, iaitu seolah-olah merujuk kepada shaum wajib yang lainnya yang menjadi hutang bagi si mati. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh mazhab asy-Syafi'i,
mazhab Ibnu Hazm, dan yang selainnya.
Dalam pada itu, para pengikut mazhab Hanbali pula lebih cenderung kepada pendapat yang pertama, bahkan ia menjadi nash Imam Ahmad, sebagaimana di dalam al-Masaa'il-nya. Abu Daud berkata: Tidak ada kewajiban membayar hutang shaum bagi seorang jenazah melainkan shaum nadzar.
Para pengikutnya menyatakan bahawa hadits tersebut merujuk kepada shaum nadzar, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh 'amrah bahawa ibunya telah meninggal dunia sedang dia masih berhutang shaum Ramadhan. Kemudian, dia bertanya kepada 'Aisyah: "Adakah aku perlu membayarnya?" 'Aisyah menjawab:
"Tidak, tetapi bershodakahlah untuknya sebagai ganti shaum setiap harinya dengan setengah sha' bagi seorang orang miskin. (Lihat: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/170)
Beliau menjelaskannya lagi

‫وهذا قول ابن عباس وأصحابه، وهو الصحيح، لن فرض الصيام جار مجرى الصلة، فكما ل يصلي أحد‬
‫عن أحد، ول يسلم أحد عن أحد فكذلك الصيام، وأما النذر فهو التزام في الذمة بمنزلة الدين، فيقبل‬
‫قضاء الولي له كما يقضي دينه، وهذا محض الفقه‬

Terjemahan: Dan yang terakhir adalah perkataan Ibnu 'Abbas dan para sahabatnya dan itulah yang sahih kerana kewajiban shaum itu berlaku seperti shalat. Maksudnya, sebagaimana seseorang tidak boleh mengerjakan sholat untuk orang lain, maka demkianlah juga dengan puasa wajib. Ada pun shaum nadzar, maka ia wajib dipenuhi kerana dalam soal penangguhan itu sendiri ia berkedudukan sama seperti hutang sehingga dibolehkan pembarayan qadha' shaum nadzar oleh wali si mati, sebagaimana dia wajib juga melubaskan hutang-hutangnya. (Lihat: al-Albani, Ahkamul Jana'iz, 1/171)
Kesimpulannya:
Maka, dengan ini jelaslah bahawa amalan mensedekahkah (atau menghadiahkan)pahala bacaan al-Qur'an bukanlah dari bentuk-bentuk amalan yang diamalkan oleh para sahabat (serta para salaf) dan juga tidak memiliki petunjuk dari al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Ini adalah sebagaimana penjelasan yang dibawakan di atas dari para ulama yang mengaku bermazhab Syafi'e khususnya, dan juga yang selainnya secara umum.

Perlu lebih ditekankan bahawa apa yang telah mendarah daging di dalam masyarakat umat Islam hari ini adalah berleluasanya bentuk-bentuk amalan (atau ritual-ritual tertentu) bertujuan mengirim (atau mensedekahkan) pahala bacaan-bacaan al-Qur'an kepada orang-orang yang telah mati sebenarnya langsung tidak berpijak kepada sumber syariat Islam yang benar.
Contoh amalan-amalan tersebut adalah seperti amalan bertahlilan, beryasinan, dan membacakan al-Fatihah untuk siapa saja dari umat Islam yang meninggal dunia.
Wallahu a'lam.
Billahi Fisabilil Haqq

Rabu, 21 Juli 2010

LARANGAN MENIKAH TANPA WALI

Mukaddimah
Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.

Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.

Senin, 22 Februari 2010

SYARAT LA ILAHA ILLA ALLAH

Kalimat la ilaha illallah memiliki tujuh syarat yang tidak sah kecuali ketujuh syarat tersebut terpenuhi dan seorang hamba harus berpegang teguh padanya tanpa menghilangkan salah satu dari ketujuh syarat tersebut, yaitu :
1.Al-Ilmu.(pengetahuan)
Yaitu mengetahui makna kalimat la ilaha illallah dari segi nafy (peniadaan) dan itsbat (penetapan) dan mengetahui semua konsekuesinya Jika seorang mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya zat yang patut disembah dan menyembah kepada selainNya adalah batil lalu ia mengamalkan pengetahuannya tersebut, berarti ia telah mengetahui makna kalimat tersebut. Allah berfirman :
Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah (QS. 47:19).
Rasulullah Saw. bersabda :
Barang siapa meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada tuhan
yang hak kecuali Allah, maka ia masuk surga.2.Al-Yakin.(keyakinan)
Yaitu dengan melafalkan kalimat ini dengan keyakinan dan kemantapan hati tanpa adanya keraguan yang dihembuskan setan jin dan manusia. Bahkan ia harus mengucapkannya dengan keyakinan yang mantap dan meyakini konsekuensinya.

Kamis, 07 Januari 2010

AS-SHALAH

"Hendaklah kalian mengingat Allah, dan shalatlah kalian di awal waktu. Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla melipatgandakan pahala kalian" (HR. Al-Thabrani)
Shalat adalah "komunikasi langsung" dengan Khaliq. Langsung karena tidak boleh "diwakilkan" oleh orang lain. Atau, tidak boleh digantikan oleh amalan apapun, karena ia sarana percakapan hamba (makhluk) dengan penciptanya (khalik).Dan Allah telah menentukan waktu-waktunya, “….sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktunya bagi orang mukmin”. (Qs. An-Nisaa: 103)
Sungguh indah kehidupan seorang Muslim dengan Rabb-nya. Setiap hari, lima kali ia menghadap kepada-Nya. Belum lagi shalat-shalat tambahan (nawafil), seperti Dhuha, Witir, Qiyamullail, dsb. Saat itulah hamba sebagai maklhuk meninggikan Rabb-nya sebagai Rabbiul a’la, Bertasybih, memohon pertolongan, meminta rahmat, huda dan maghfirrah kepada-Nya.

Rabu, 06 Januari 2010

PARA SUAMI LAH PENYEBABNYA, AKAN TETAPI ... !!

Ketika mata-mata para isteri terbuka lebar, lisannya mulai "berani" berbicara, dan suaranya pun mulai nyaring, maka aku tidak jadi menasihati mereka dan hanya berusaha diam dan membisu.... Segala tetek-bengek mulai membuat sumpek: wajah tidak sumringah; pendengaran jadi berat manakala aku ingin mengajaknya berbicang-bincang tentang kelalaian kami, tentang malasnya kami dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan suka berleha-leha dengan waktu, dan ... dan.. masih banyak lagi. Akan tetapi, kami tidak pernah membicarakan permasalahan suami dan hak-haknya kepada kami dan kewajiban mereka kepada kami, sampai akhirnya terjadilah apa yang terjadi ...a) Diantara mereka (para isteri) ada yang berkata, "Jasa apa yang telah ia (suami) lakukan, sehingga kalian mengatakan bahwa hak seorang suami dari kami adalah sangat besar, bahwa Rasulullah menyatakan seandainya diperintahkan seseorang untuk bersujud kepada sesama manusia, tentu aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya.?