Minggu, 28 Juni 2009

PENYIMPANGAN MENJELANG KEMATIAN

Hudzaifah Ibnu Yaman RA berkata : " Adalah dahulu orang-orang gcmar bertanya kepada Rasuluttah SAW tentang perkara yang baik-baik, sementara aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena rasa takut hal itu akan menimpaku ". (HR. Bukhari).

Mari kita coba mengikuti Hudzaifah Ibnu Yaman RA untuk menyimak keburukan amalan yang banyak dilaku kan orang saat ini secara turun temurun. Yaitu masalah amalan yang menyimpang di kala berada di sisi orang yang mendekati ajalnya. Tentunya bukan bermaksud mengajak umat ikut melestarikannya, tapi berusaha meluruskan sesuai syari'at Islam, dalam ragka ta'awanu'alal birri wattaqwa, tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa. Juga sesama muslim wajib untuk saling berwasiat tentang kebenaran tawaashau bil haqqi (Q.S. Al'Ashr 103:3).
Oleh karena itu, mari kita berusaha meluruskan saudara-saudara kita yang melakukan beberapa amalan, mengikuti budaya budha, budaya hindu dan kejawen yang berdasarkan tradisi turun temurun semata, tanpa didasari syari'at Allah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswah.



Melupakan Talqin
Ketika seseorang sedang meng-hadapi sakaratid maut, sanak keluarga dan kerabat dekatnya yang telah dihubungi segera menjenguk dan berkumpul di sekitar saudaranya yang sedang bertarung dengan maut itu. Secara beramai-ramai atau sendiri-sendiri secara bergantian mereka membaca Alquran Surat Yasin atau ayat lainnya. Karena asyiknya membaca, mereka lupa atau beium memahami bahwa menlalqin (menuntun) seseorang yang hendak meninggal, lebih penting dan lebih perlu.

Mentalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid La ilaha ilallah kepada orang yang sedang menghadapi maut memang diperintahkan Nabi SAW dalam sabdanya: "Talqinilah orang yang akan meninggai di antara kalian de-ngan kalimat La ilaha illallah". (HR. At-Tirmidzi).
Mentalqin yang dimaksud bukanlah melafazkan syahadat untuk diperdengarkan di hadapan orang yang akan meninggai, tapi membimbing secara perlahan orang yang sedang sekarat untuk mengucapkan kalimat tauhid (La ilaha illallah). Jika orang yang akan meninggai itu sudah mengucapkan, maka tidak perlu lagi ditalqin secara berulang-ulang dan jangan diajak bicara lagi, agar kalimat La ilaha illallah itulah yang menjadi perkataannya yang terakhir Dari Mu'adz bin Jabal RA, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang akhir perkataannya adalah kalimah la ilaha illallah, maka dia masitk surga". (HR. Ahmad dan Al Ha -kirn).

Penyimpangan Setelah Kematian

Setelah kematian seseorang, ada juga sebagian umat Islam di negeri ini yang melakukan amalan yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW mau pun oleh para Sahabat. Rasulullah SAW mengingatkan: "Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan dariku (Rasulullah SAW), maka ia tertolak". (HR. Muslim). Bukan hanya itu, bagi yang menyelisihi ajaran Nabi SAW akan mendapat siksa dari Allah SWT: "..Maka hendaklah orang-ora-ngyang menyalahi ajaran Rasul takut akan ditimpa cobaan dan adzab yang pedih". (Q.S. An-Nuur 24 :63).

Mengumumkan Kematian

Penyebaran berita kematian yang pernah dilarang oleh Nabi SAW menurut Ibnu Hajar adalah penyebaran berita yang menyerupai kebiasaan yang pernah dilakukan orang di zaman jahiliyah. Yaitu dengan menyuruh orang tertentu untuk berteriak-teriak menyiarkan kematian dari pintu ke pintu rumah penduduk, termasuk pula menyiarkannya di pasar-pasar Sebagian ulama menyamakan penyiaran berita kematian lewat mikrofon (pengeras suara) di menara-menara masjid termasuk na'yun (penyiaran kematian) yang sama dengan cara-cara jahiliyah. Pemberitahuan kematian menjadi suatu keharus-n bila ternyata belum ada yang mengurus jenazah seperti memandikan, mengafani, menshalatkan dan mengurus pemakamannya. Hudzaifah Ibnul Yaman RA berkata: "Apa bila mengetahui ada berita kematian janganlah mengitmandangkannya, karena sesungguhnya aku khawatir yang demikian termasuk dalam menyerukan (meneriakan) berita kematian. Aku mendengar Rasulullah SAW telah melarangnya". (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Ahmad dan Al-Bai-haqi).

Meratapi Mayat

Berteriak-teriak histeris, menangis meraung-raung, menjambak rambut sendiri atau mencakar, merobek baju karena kematian seseorang yang dicintai atau disayangi, apa lagi kalau kematiannya mendadak seperti terkena musibah banjir, tanah longsor atau kecelakaan, maka pe-rilaku seperti itu adalah perbuatan orang jahiliyah yang dilarang Rasulullah SAW. Ketika Ibrahim, putra Rasulullah SAW wafat, berteriaklah Usamah bin Zaid. maka Rasulullah SAW menegurnya: "Yang demikian itu bukan dari ajaranku. Tidaklah orang yang berteriak-teriak dibenarkan dalam agama. Hati ini memang sedih dan kedua mata menangis, namun tidak menjadikan Allah murka". (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim dari Abu Hu-rairah RA).

Berteriak seperti itu tcrmasuk meratapi mayat. Anas bin Malik RA berkata: ''Ketika Umar bin Khathab RA tertikam, Hafshah (putrinya) menangis dengan suara keras. Berkatalah Umar kepadanya, "Wahai Hafshah, tidakkah engkau mendengar Rasulullah bersabda: "Orang yang diratapi itu disiksa!' Dalam riwayat lain: "Sesungguhnya mayat disiksa dengan sebagian ratapan keluarganya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Termasuk pula meratapi mayat adalah berkumpul di rumah keluarga yang ditimpa kematian sambil membaca ayat-ayat Alquran dan menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan keluarga si mayat. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah). Sebagian umat Islam bahkan ada yang melakukan amalan ini hingga seribu hari kematiannya, sebuah tradisi turun temurun yang menyimpang dari syari'at Dienul Islam.

Penyimpangan di Kuburan

Kebiasaan menyimpang yang biasa dilakukan sebagian umat Islam setelah menshalati jenazah, adalah imam shalat membacakan lagi doa dan diamini oleh jemaah. Bukankah shalat jenazah itu sendiri sudah mendoakan mayat dan juga yang ditinggalkan? Bahkan kita dilarang untuk shalat bagi orang-orang yang sudah jelas kekufurannya, dengan ia tidak lagi shalat berarti ia telah menentang Allah dan Rasul-Nya seperti Firman Allah SWT : "Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik (Q.s. At-Taubah 9: 84).
Bahkan ada lagi yang ditambah dengan persaksian dari para jemaah shalat bahwa mayat tersebut semasa hidupnya adalah orang baik. Justru setelah jenazah dishalati, Rasulullah SAW menganjurkan untuk secepatnya diusung ke pemakaman. Ketika mayat diusung ke kuburan pun tidak ada diajarkan Rasulullah SAW harus diiringi bacaan tahlil atau dzikir tertentu, karena suasana yang hening dan khidmat diperlukan untuk menghayati dan mengingatkan para pengiring akan hari akhirat. Perilaku membaca dzikir seperti itu menyerupai umat Nasrani yang bernyanyi sendu dan membaca Injil di depan mayat.


Iringan Bara Api dan Rintihan

Nabi Muhammad SAW bersabda: "Janganlah jenazah diikuti dengan rintihan dan bara api". (HR. Abu Dawiid dari Abu Hurairah RA). Maksud hadis ini adalah adanya tangisan dari para pengiring dan perapian, seperti membakar setanggi, kemenyan dan sejenisnya.

Wanita Ikut Ke Kuburan

Ummu Atiyah RA berkata: "Telah melarang kepada kami Rasulullah SAW untuk mengiringi jenazah, tapi larangan itu tidak dikeraskan atas kami". (Muttafaq 'Alaih). Larangan bagi kaum wanita untuk mengiringi jenazah ini tidak sampai pada hukum haram. Tapi makruh hukumnya, yang berarti lebih baik tidak usah ikut ke kuburan, karena banyak wanita yang tidak tahan melihat orang yang dicintai dimasukkan keliang lahat, bahkan tidak jarang ada yang sampai pingsan.

Memakai Sandal


Berjalan di tengah pemakaman dengan mengenakan terompah atau sandal banyak dilakukan umat Islam Padahal Rasulullah SAW melarangnya. "Saat Rasulullah SAW berjalan bersama Basyir Ibnul Khashshiah RA pandangannya terarah pada seorang lelaki yang sedang berjalan di pekuburan dengan memakai sandalnya, kemudian beliau SAW menegurnya: "Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Tanggalkan kedua sandalmu '. " Orang tersebut tertegun lain menoleh dan ketika diketahuinya yang menegumya Rasulullah SAW, segera la tanggalkan kedua sandalnya". (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah).

Adzan di Liang Lahat

Adzan adalah suatu media untuk mengumumkan masuknya waktu shalat dan sekahgus memanggil umat Islam untuk mendirikan shalat berjamaah. Sungguh janggal rasanya orang mati diajak shalat berjamaah, apa lagi shalat di kuburan jelas dilarang oleh Rasulullah SAW. Namun kenapa masih saja ada umat Islam yang melakukannya, seolah membuat ajaran baru berupa amalan yang tidak pernah diperintahkan Nabi SAW.

Duduk di Atas Kuburan

Banyak umat Islam yang tidak bisa menghormati orang yang sudah meninggal. Mereka menginjak-injak makam orang dengan memakai alas kaki tanpa rasa hormat sedikit pun. Selama menunggu mayat dikubur, para pelayat pun tidak segan-segan duduk di atas kuburan orang. Rasulullah SAW mengingatkan: " Sungguh bila seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga terbakar bajunya hingga tembus ke kulitnya. hal itu lebih balk dari pada duduk di atas kuburan ". (IIR. Muslim).

Banyak lagi penyimpangan seputar mayat dan kuburan yang seolah sudah menjadi syari'at agama Islam, contonya: memakai pakaian hitam di saat melayat (takziyah), memayungi mayat, menabur bunga ke makam para wali untuk ngelalap berkah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar