Kamis, 20 November 2008

SEPUTAR QURBAN

Ketahuilah wahai Ikhwanu Fiidiin semoga Allah memberi taufiq kepadaku dan juga kepadamu।। Sehingga engkau akan melihat bahwa mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan disini secara umum dilakukan pada waktu hari raya, dilakukan pada hari-hari dan tata cara dalam berhari raya
Sebagai umat Islam wajiblah kita mengetahui bahwa sesungguhnya Dien ini telahlah
sempurna, sebagaimana Allah SWT berfirman:
ﻡﻮﻴﹾﻟﺍ ﹶﺃ ﺎﻨﻳﺩ ﻡﹶﻼﺳِﻹﺍ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺖﻴﺿﺭﻭ ﻲﺘﻤﻌﹺﻧ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﺖﻤﻤﺗﹶﺃﻭ ﻢﹸﻜﻨﻳﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺖﹾﻠﻤﹾﻛ
Artinya: Sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara Dienul Islam dan hukum-hukum yang ada dalam Islam“Pada Hari ini telah Kusempurnakan untukmu Dienmu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam sebagai Dienmu।” (Al-Maidah: 3)


Dari ayat ini kita dapat mengetahui bahwa telahlah lengkap syari’at Islam dengan di
disempurnakannya, dan dicukupkannya serta diridhainya islam sebagai Dien diatas dunia
maka janganlah ditambah-tambah atau di kurang-kurangi syari’at tersebut. Imam Ibnu Katsir
menjelaskan dalam tafsirnya:
ﺕﺍﻮﹶﻠﺻ ﻢﻬﻴﹺﺒﻧ ﺮﻴﹶﻏ ﻲﹺﺒﻧ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﺎﹶﻟﻭ ﻩﺮﻴﹶﻏ ﻦﻳﺩ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹶﻥﻮﺟﺎﺘﺤﻳ ﺎﹶﻠﹶﻓ ﻢﻬﻨﻳﺩ ﻢﻬﹶﻟ ﻰﹶﻟﺎﻌﺗ ﹶﻞﻤﹾﻛﹶﺃ ﹸﺚﻴﺣ ﺔﻣﹸﺄﹾﻟﺍ ﻩﺬﻫ ﻰﹶﻠﻋ ﻰﹶﻟﺎﻌﺗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﻌﹺﻧ ﺮﺒﹾﻛﹶﺃ ﻩﺬﻫ
ﻧﹶﺄﹾﻟﺍ ﻢﺗﺎﺧ ﻰﹶﻟﺎﻌﺗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﹶﻠﻌﺟ ﺍﹶﺬﻬﻟﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﻣﺎﹶﻠﺳﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻦﻳﺩ ﺎﹶﻟﻭ ﻪﻣﺮﺣ ﺎﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻡﺍﺮﺣ ﺎﹶﻟﻭ ﻪﱠﻠﺣﹶﺃ ﺎﻣ ﺎﱠﻟﹺﺇ ﻝﺎﹶﻠﺣ ﺎﹶﻠﹶﻓ ﻦﹺﺠﹾﻟﺍﻭ ﺲﻧﹺﺈﹾﻟﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻪﹶﺜﻌﺑﻭ ﺀﺎﻴﹺﺒ
ﻰﹶﻟﺎﻌﺗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﻤﹶﻛ ﻒﹾﻠﺧ ﺎﹶﻟﻭ ﻪﻴﻓ ﺏﺬﹶﻛ ﺎﹶﻟ ﻕﺪﺻﻭ ﻖﺣ ﻮﻬﹶﻓ ﻪﹺﺑ ﺮﺒﺧﹶﺃ ﺀﻲﺷ ﹼﻞﹸﻛﻭ ﻪﻋﺮﺷ ﺎﻣ } ﻠﹶﻛ ﺖﻤﺗﻭ ﺎﹰﻟﺪﻋﻭ ﺎﹰﻗﺪﺻ ﻚﺑﺭ ﺔﻤ { ﻱﹶﺃ
ﻲﻫﺍﻮﻨﻟﺍﻭ ﺮﻣﺍﻭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﺎﹰﻟﺪﻋﻭ ﺭﺎﺒﺧﹺﺈﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﺎﹰﻗﺪﺻ
Artinya: “Ini adalah nikmat yang terbesar dari berbagai nikmat yang Allah berikan kepada umat
ini, yaitu allah telah menyempurnakan untuk mereka Dien mereka, sehingga mereka tidak
membutuhkan Dien yang lain dan juga tidak membutuhkan Nabi lain selain Nabi mereka -Nabi
Muhammad saw-,
Oleh karena itulah Allah menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan
menjadikannya pula sebagai nabi yang diutus kepada seluruh manusia dan jin. Maka tidak yang
halal melainkan apa yang dihalalkannya dan tidak ada yang haram melainkan apa yang
Sempurnanya Syari’at,
2
diharamkan serta tidak ada Dien yang benar kecuali Dien yang disyaria’atkannya. Setiap hal
yang disampaikan Nabi saw adalah benar dan tepat, tanpa ada kebohongan dan pertentangan
didalamnya, sebagaimana Allah berfirman: “Dan sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an)
sebagai kalimat yang benar dan adil”(Al-An’am: 115), yakni benar dalam berita serta adil dalam
perintah dan larangan-Nya।”Ibnu Abbas berkata: mengenai firman Allah - ﻢﹸﻜﻨﻳﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺖﹾﻠﻤﹾﻛﹶﺃ ﻡﻮﻴﹾﻟﺍ -:
ﻪﻴﹺﺒﻧ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺮﺒﺧﹶﺃ ﻡﺎﹶﻠﺳﹺﺈﹾﻟﺍ ﻮﻫﻭ - ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ - ﺓﺩﺎﻳﹺﺯ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﹶﻥﻮﺟﺎﺘﺤﻳ ﺎﹶﻠﹶﻓ ﻥﺎﳝﹺﺈﹾﻟﺍ ﻢﻬﹶﻟ ﹶﻞﻤﹾﻛﹶﺃ ﻪﻧﹶﺃ ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻟﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻤﺗﹶﺃﺪﹶﻗﻭ ﺍﺪﺑﹶﺃ
ﻪﺼﹸﻘﻨﻳ ﺎﹶﻠﹶﻓ ْﺪﺑﹶﺃ ﻪﻄﺨﺴﻳ ﺎﹶﻠﹶﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻪﻴﺿﺭ ﺪﹶﻗﻭ ﺍﺪﺑﹶﺃ
Artinya:”Dan dia itu Islam yang Allah telah mengabarkan kepada Nabi-Nya saw dan kaum
mu’minin bahwasannya Dia telah menyempurnakan bagi mereka keimanan, maka tidaklah
mereka membutuhkan kepada penambahan apapun, dan sungguh Allah telah mencukupkannya
maka tidak akan berkurang sedikitpun, dan sungguh Allah telah meridhainya maka tidaklah
akan murka kepadanya।Berkata Imam Ahmad rahimahullah:
ﹶﻝ ﺎﹶﻗ ﺏ ﺎﻬﺷ ﻦﺑ ﻕﹺﺭﺎﹶﻃ ﻦﻋ : ﺩ ﻮﻬﻴﹾﻟﺍ ﻦﻣ ﻞﺟﺭ َﺀﺎﺟ ﹶﻝ ﺎﹶﻘﹶﻓ ﺏﺎﱠﻄﺨﹾﻟﺍ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻰﹶﻟ ﹺﺇ : ﻲﻓ ﺔﻳﺁ ﹶﻥﻭُﺀﺮﹾﻘﺗ ﻢﹸﻜﻧﹺﺇ ﲔﹺﻨﻣﺆﻤﹾﻟﺍ ﲑﻣﹶﺃ ﺎﻳ
ﻪﻟﻮﹶﻗ ﹶﻝﺎﹶﻗ ؟ ﺔﻳﺁ ﻱﹶﺃﻭ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺍﺪﻴﻋ ﻡﻮﻴﹾﻟﺍ ﻚﻟﹶﺫ ﺎﻧﹾﺬﺨﺗﺎﹶﻟ ﺖﹶﻟﺰﻧ ﺩ ﻮﻬﻴﹾﻟﺍ ﺮﺸﻌﻣ ﺎﻨﻴﹶﻠﻋ ﻮﹶﻟ ﻢﹸﻜﺑﺎﺘﻛ ) ﻨﻳﺩ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺖﹾﻠﻤﹾﻛﹶﺃ ﻡﻮﻴﹾﻟﺍ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﺖﻤﻤﺗﹶﺃﻭ ﻢﹸﻜ
ﻲﺘﻤﻌﹺﻧ ( ﺮﻤﻋ ﹶﻝ ﺎﹶﻘﹶﻓ : ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻰﹶﻠﻋ ﺖﹶﻟﺰﻧ ﻱِ ﺬﱠﻟﺍ ﻡﻮﻴﹾﻟﺍ ﻢﹶﻠﻋﹶﺄﹶﻟ ﻲﻧﹺﺇ ﻪﱠﻠﻟﹶﺍﻭ - ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ - ﻰﹶﻠﻋ ﺎﻬﻴﻓ ﺖﹶﻟﺰﻧ ﻲﺘﱠﻟﺍ ﺔﻋﺎﺴﻟﺍﻭ
ﻌﻤﺟ ﻡﻮﻳ ﻲﻓ ﺔﹶﻓﺮﻋ ﺔﻴﺸﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺔ
Aryinya: “Dari Thariq bin Syihab r.a berkata: Seorang Yahudi kepada Umar r.a dan
berkata : Wahai amirul mu’minin ‘Sesungguhnya kamu membaca ayat dalam kitabmu.
Seandainya ayat itu turun kepada kami (orang-orang Yahudi), niscaya akan kami jadikan hari इतु sebagai hari raya. Umar bertanya : Ayat yang manakah itu? ‘ Ayat ‘ Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. “ Umar berkata, ‘ Demi Allah, sungguh aku mengetahui
hari diturunkannya ayat tersebut kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dan waktu
turunnya. Ayat ini turun kepadanya pada sore hari Arafah dan hari Jum’at.1 (HR Bukhari dalam
Kitab Iman, Muslim dalam Kitab Tafsir, Attarmidzy dalam Kitab Tafsir Al qur’an, An Nasa’i
dalam Kitab Iman dan syrai’at-syari’atnya)
Ayat ketiga dari surah Al Maidah ini patutlah disyukuri karena Allah telah melegalkan
bahwa Islam adalah Dien yang diridhainya, maka tidaklah patut kita mengambil agama lain
selain darii dienul Islam ini. Dan juga ayat ini diturunkan pada saat Rasulullah saw
1 Mukhtashar Ibnu katsir I/482 - 483

melaksanakan haju wadda’ di padang arah, ketika beliau saw melaksanakan wukuf pada tanggal
9 dzulhijah tahun 10 H. Saat itu juga Rasulullah menyampaikan wahyu itu kepada para sahabat
yang menunaikan ibadah haji bersama beliau saw. Semua sahabat menyambut gembira atas
turunnya ayat ini yang bisa dijadikan rekomendasi dari Allah kepada para hambanya atas
diridhainya Islam sebagai agama dan bahwa ajaran Rasulullah saw telahlah sempurna. Akan
tetapi Abubakar r.a menangis ketika ayat ini disampaikan oleh Rasullullah saw karena ia
menangkap pertanda Rasulullah akan segera meninggalkan mereka (para sahabat) sebab
tugasnya telah sempurna. Abu Bakar r.a besedih karena akan ditinggal kekasihnya Rasulullah
saw. Ternyata apa yang diduga oleh Abu Bakar r.a tidaklah meleset, beberapa saat kemudian
kesehatan Rasulullah saw menurun, dan tepat 81 hari setelah itu beliau di panggil ke kahadirat
Allah SWT.
Kesempurnaan Islam ini didukung lagi dengan sabda Rasulullah saw yang artinya “Dari
Abu Dzar Al Ghifari radliyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan
tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau
menyebutkan ilmunya kepada kami." Abu Dzar r.a kemudian berkata: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan
menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian."2 Dan juga seperti yang
diriwayatkan dari Amr bin Abi Umar dari Muthalib secara marfu', Nabi bersabda: "Tidaklah aku
meninggalkan sesuatu dari perkara yang Allah perintahkan dengannya kecuali telah aku
perintahkan perintah itu kepada kalian dan tidaklah aku meninggalkan suatu perkara yang Allah
larang kalian darinya kecuali telah aku larang kalian darinya."3
Syaikh Abul Qosim Al-Asbahani berkata ketika menjelaskan kesempurnaan Islam dan
kedudukan akal:
1 Ketahuilah, sesungguhnya perbedaan antara kita (Ahlus Sunnah) dengan Ahlil
Bid'ah adalah masalah akal. Karena mereka menjadikan akal sebagai dasar diennya, sedangkan
Ittiba' (mengikuti dalil-dalil) disesuaikan dengan akal. Adapun Ahlus Sunnah mengatakan bahwa
dasar dien ini adalah ittiba' (mengikuti dalil) adapun akal menyesuaikan (dengan dalil)...".
Selanjutnya ia menegaskan: "... Kalau saja dasar dien ini adalah akal, tentu makhluk-makhluk
ini tidak memerlukan wahyu dan para Nabi, dan tentu akan hilang makna perintah dan larangan
serta akan leluasa setiap orang mengatakan apa yang dia sukai. Kalau saja dien ini dibangun di
atas akal, tentu boleh bagi orang yang beriman untuk tidak menerima sesuatu dari dien ini
hingga masuk akal."
Dan juga Imam Malik rahimahullah berkata: "Barangsiapa mengada-adakan dalam Islam
suatu kebid'ahan dan menganggapnya baik, berarti ia telah menuduh bahwa Rasulullah telah
berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman (al-yauma akmaltu लकुम diinakum) maka apa yang waktu itu bukan bagian dari Islam, hari ini pun bukan bagian दरी Islam."4
2 Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Ma'jamul Kabir, lihat Ash-Shahihah 4/416 no. 1803
3 Diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i dalam Badai'ul Minan dan Ibnu Khuzaimah dalam hadits Ali bin Hijr juz 3 no. 100.
Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihah 4/417 tentang syahid ini: Isnad (sanad)-nya mursal hasan.
4 Al-I’tisham karya Imam Syathibi hal 37

Dari keterangan-keterangan tersebut diatas maka nyatalah bahwa orang yang menambah,
mengada-adakan dan atau mengurangi syariat yang sempurna dan telah ditetapkan sendiri oleh
Allah mengenai kesempurnaannya dan Rasulpun telah menyampaikan amanah-Nya adalah
mereka termasuk orang-orang yang merasa dirinya lebih tinggi dari Allah dan Rasul-Nya karena
mereka secara disadari atau tidak disadarinya telah membuat suatu syari’at
Qurban adalah penyembelihan binatang ternak yang di laksanakan atas perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan tujuan taqarrub (pendekatan) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada hari Iedul Adhha/Qurban sampai akhir hari-hari tasyriq diambil dari kata dhahwah disebut awal waktu pelaksanaan yaitu dhuha (lisanul Arab 19:211, mu’jam Al-Wasith 1:537).
Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan berqurban dalam firmanNya, yang artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah.
Dan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya:?“Dan kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Alloh.” (QS Al-Hajj: 36)
Hukumnya adalah sunnah muakkad, bagi yang mampu, sebagaimana hadits beliau riwayat Anas radhiallaahu anhu, bahwa Nabi ShallAllohu alaihi wa salam berkurban dua kambing yang bagus, bertanduk, beliau menyembelih keduanya sendiri dengan tangan beliau, menyebut nama (asma Alloh) dan bertakbir. (HR: Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun orang yang menghukumi wajib dengan dasar hadits, yang artinya: “Siapa yang memiliki kemampuan namun tidak berkurban, maka jangan sekali-kali mendekati masjidku.” (HR: Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadits ini derajatnya dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada perowinya yang dha’if yaitu Abdullah bin Iyasy sebagaimana diterangkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Hazm (Ibnu Majah 2: 1044, Al-Muhalla 8:7).
Imam Syafi’i berkata: Andaikan berkurban itu wajib maka tidaklah cukup bagi satu rumah kecuali mengurbankan setiap orang satu kambing atau untuk tujuh orang satu sapi, akan tetapi karena tidak berhukum wajib maka cukuplah bagi seorang yang mau berkurban jika menyebutkan nama keluarga pada kurbannya … dan jika tidak menyebut-kannya pun tidak berarti meninggalkan kewajiban (Al-Umm 2: 189).
Para sahabat kami berkata “Andaikan kurban itu wajib maka tidaklah gugur (kewajiban itu) jika kelewatan waktunya, kecuali dengan diganti (ditebus) seperti shalat berjamaah dan kewajiban lainnya, para ulama madhab Hanafi juga sepakat dengan kami (madhab Syafi’i) bahwa kurban tidak berhukum wajib (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab: 8:

Sembelihan Yang Terbaik Adalah Yang Paling Gemuk

Saya katakan, bahwa kurban yang paling afdhal (utama) adalah gibas (domba
jantan) yang bertanduk. Sebagaimana yang terdapat pada suatu hadits dari
Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim dan
Al-Baihaqi secara marfu' dengan lafadzh:
"Artinya : Sebaik-baik hewan kurban adalah domba jantan yang
bertanduk". 3
Al-Ud-hiyah (sembelihan kurban) yang dimaksud bukanlah Al-Hadyu. Dan
terdapat pula nash pada riwayat Al-Ud-hiyah, maka nash wajib didahulukan dari
qiyas (meng-qiyas-kan ud-hiyah dengan Al-Hadyu), dan hadits : "Domba jantan
yang bertanduk" adalah nash diantara perselisihan ini.
Apabila dikhususkan berkurban dengan domba berdasarkan zhahir hadits, dan
bila meliputi yang lainnya, maka termasuk yang dikebiri. Tetapi yang utama
tidaklah dikhususkan dengan hewan yang dikebiri.
Adapun penyembelihan qurban Nabi ’ berupa hewan yang
dikebiri tidak menunjukkan lebih afdhal dari yang lainnya, namun yang ditujuk
pada riwayat tersebut bahwa berkurban dengan hewan yang dikebiri adalah
boleh.
Distribusi Daging Qurban
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya setiap hewan qurban itu boleh diberikan kepada tiga kelompok.
1. Kelompok Pertama: Dimakan Sediri
Yang dimaksud dengan dimakan sendiri adalah bahwa pihak yang menyembelih qurban boleh memakan sendiri daging yang diqurbankannya. Hukumnya boleh berdasarkan firman Allah SWT:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28)
2. Kelompok Kedua: Dihadiahkan
Daging hewan qurban boleh dihadiahkan kepada orang-orang yang ingin kita hadiahkan, misalnya kepada tetangga kanan kiri atau teman. Meski pun mereka bukan termasuk orang miskin.
3. Kelompok Ketiga: Disedekahkan
Daging hewan juga perlu disedekahkan, tidak ada dalil yang mengkhususkan akan dishodaqahkan kepada si A dan si B tapi Alloh memberikan satu keteria Fuqaara. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28)
Dua penerima pertama, yaitu pemilik dan teman yang dihadiahkan kepadanya daging qurban, tidak boleh menjual daging itu.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari pelaksanaan Iedul Qurban, mendidik manusia agar pentingnya menghidupkan sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh kebanyakkan manusia dipenjuru dunia khususnya dilingkungan atau disekitar kita.
Manusia terkadang lupa, untuk apa mereka ada didunia ini dan tujuan itu sendiri :

(51) :56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengibadahi-Ku.
Tujuan Allah menciptakan manusia dan jin sudah jelas untuk beribadah dan memakmurkan bumi, menghidupkan malam dan mengoptimalkan di siang harinya dalam kerangka beribadah, dalam hari-hari kebelakang apakah kita sudah mengoptiamlkan hari dengan tujuan ibadah, dan apa yang akan kita persiapkan kedepan dengan tujuan apa, hari nahr tidak hanya dilakukan pada satu hari saja tapi dilakukan pada hari-hari tasyrik, yang mana sebagian masyarakat telah meninggalkan sunnah ini, kebanyakkan memaksakan waktu penyembelihan hingga lewat waktu. Dan ada sebagian, waktu-waktu shalat titinggalkan, inilah tujuan dari kegiatan kita menghidupkan sunnah dengan menepis pembusukan yang ada.
Shadaqah sangat dibutuhkan karena itu akan menyuburkan perekonomian masyarakat, karena dengan shadaqah tidak ada lagi jeda bagi masyarakat itu sendiri, baik dari segi sosial dan dalam pandangan Allah swt, derajat orang-orang yang gemar bershadaqah (infaq) ibarat menanam sebutir benih :

(2) : 261. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Al Wasi’ dan Al ’Aliim.
Dan ada sebagian manusia yang karena ketakutannya terhadap bahaya ria (ujub/bangga diri), maka ia berinfaq dengan tidak secara terang-terngan inilah manusia yang utama dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah :


(2) :274. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb-Nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dan dalam hal membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, Allah membuka jalur dengan melalui shadaqah dan mengaharamkan segala sesuatu yang berbentuk atau berbau riba :

(2) :276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shodaqoh. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Dan bagi orang yang mampu dalam hal kepemilikan harta juga harus tahu kepada siapa ia harus bershadaqah, bukan kepada orang yang meminta-meminta dijalan, atau orang yang mengatas namakan untuk kepentingan anak yatim. Jelas shadaqah untuk delapan asnab :
(9) :60. Sesungguhnya shadaqah itu, hanyalah untuk fuqara dan masakiin, ’amilin, para mu'allaf quluubuhum(jinak/lunak hatinya), fii riqaab (budak), orang-orang yang berhutang, untuk fii sabilillah dan ibnu sabiil (dalam perjalanan untuk iqamatuddiin), sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah ’Aliimu Hakiim..
Dalam konteks ini, berbicara masalah shadaqah berarti terkait dengan urusan amwal/maal/harta.
Prinsipnya, harta adalah milik Allah, yang dititipkan kepada manusia, jadi harta bukan milik manusia.
Selama harta itu adalah milik Allah, maka ia (harta itu) dengan demikian tunduk dan patuh kepada apa saja yang ditetapkan Allah baginya. Sebagai Pemilik harta, Allah adalah yang Berhak Mengatur baik dalam masalah cara memilikinya, cara mengembangkannya dan cara menggunakannya. Sehingga orang yang memegang harta tidak dapat bebas memperlakukan harta itu semaunya karena terikat dengan aturan Allah.
Dalam Al Qur’an Allah mengarahkan para pemilik harta (yang Allah pilih untuk menjadi pemegang amanah atas harta itu) kepada jalan yang paling baik dalam mengelola harta itu, yaitu melalui shadaqah, infaq dan zakat.
SHADAQAH
Shadaqah, berasal dari kata sidq, yang artinya benar/lurus, dan mengandung pengertian yang sangat luas. Shadaqah sangat erat hubungannya dengan kemampuan seseorang untuk mensyukuri karunia yang diberikan Allah, dari situ kemudian membenarkan (bahwa karunia itu berasal dari Allah dan dia terikat dalam mengelolanya) dengan jalan infaq dan zakat .
Dalam pelaksanaannya, pengertian membenarkan ini adalah tidak berhenti di urusan dzikru ni’mah, tapi harus sampai pada tahap taffakur fi ni’mah.
Shadaqah tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat material, tapi juga immaterial.
INFAQ
Infaq, artinya membelanjakan. yang berkaitan dengan khazanah/perbendaharaan rahmat dari Allah. Katakan, seandainya kamu itu menguasai perbendaharaan rahmat Allah (harta benda yang banyak), niscaya semua itu akan kamu tahan untuk tidak kamu infaq kan ( dibelanjakan di jalan Allah)
Kata bendanya adalah nafaqah artinya nafkah,
Apa yang di infaq-kan? (qulil ‘afwa (al ‘afwu) , yang lebih dari kebutuhan. Artinya, dari rizki yang diberikan Allah, sebenarnya sedikit sekali ( yang benar-benar) untuk kebutuhan kita di dalamnya, yang banyak adalah al ‘afwu, itulah yang diperintahkan Allah untuk di infaqkan/dibelanjakan.
Al Qur’an banyak mengkaitkan perintah infaq ini dengan kata fii sabiilillaah,belanjakanlah hartamu dijalan Allah. Artinya, dalam pelaksanaannya membelanjakan itu ada dua jalan, fii sabiilillah ( di jalan Allah) dan fii subula ( di selain jalan Allah ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar