Minggu, 18 Oktober 2009

KESETIAAN ITU MENYELAMATKAN

Bukan kebohongan yang menjadi sebab keselamatan, bukan kedustaan yang menjadi sebab terangkatnya kesulitan dan bukan pengkhianatan yang menjadi sebab kebebasan dari kesengsaraan, bukan semua itu akan tetapi sebaliknya, kejujuranlah yang menjadi sebab keselamatan, kebenaran-lah yang menjadi sebab terangkatnya kesulitan dan kesetiaan-lah yang menjadi sebab kebebasan dari kesengsaraan.
Dua anak muda membawa seorang laki-laki dari pedalaman ke majlis Umar bin Khattab. Umar bertanya, "Siapa orang ini?" Keduanya menjawab, "Ya Amirul Mukminin, pembunuh bapak kami." Umar bertanya kepada laki-laki itu, "Benarkah kamu membunuh bapak mereka?" Laki-laki itu menjawab, "Benar, aku membunuhnya" Umar bertanya, "Bagaimana kamu membunuhnya?" Laki-laki itu bercerita, "Dengan ontanya dia masuk ke tanahku. Aku menghardiknya tetapi dia tidak mengindahkan. Lalu aku mengirim batu yang mengenai kepalanya, maka dia mati." Umar berkata, "Qishash, keputusan tak tertolak, hukum yang benar yang tidak perlu dibantah."
Umar tidak bertanya tentang keluarga laki-laki ini, apakah dia dari suku yang terhormat? Ataukah dari keluarga yang berpengaruh? Apa kedudukannya di masyarakat? Semua itu tidak penting bagi Umar karena baginya semua orang adalah sama dalam agama Allah. Umar tidak menjilat seseorang dengan menginjak syariat Allah. Seandainya pembunuhnya adalah anaknya sendiri niscaya dia tetap mengqishashnya. Dalam sebagian urusan dia telah mencambuk anaknya.
Laki-laki itu berkata, "Aku meminta kepadamu dengan nama Allah yang dengan-Nya langit dan bumi tegak. Biarkanlah diriku untuk satu malam, agar aku bisa pergi kepada istriku dan anak-anakku di pedalaman. Aku ingin menyampaikan kepada mereka bahwa engkau akan membunuhku, kemudian aku kembali kepadamu. Demi Allah mereka tidak mempunyai sandaran kecuali Allah kemudian aku." Umar berkata, "Siapa penjaminmu ketika kamu pergi ke pedalaman kemudian kamu kembali kepadaku?" Orang-orang diam. Mereka tidak mengetahui nama laki-laki ini, tidak pula rumahnya, tidak pula daerahnya, tidak pula kabilahnya. Bagaimana menjamin orang seperti ini? Jaminan bukan di atas sepuluh dinar, tidak pula di atas tanah, tidak pula di atas seekor onta. Jaminan leher dipenggal dengan pedang.
Siapa berani menghalangi Umar untuk menerapkan syariat Islam? Siapa yang berani memberi syafaat di depannya? Siapa yang berani memikirkan untuk menjadi penengah di sisinya? Para sahabat diam. Umar sendiri bingung. Apakah membunuh orang laki-laki ini lalu anak-anaknya mati kelaparan ataukah membiarkannya pergi tanpa jaminan lalu hilanglah darah korban. Orang-orang diam. Umar tertunduk, dia menengok kepada kedua pemuda itu, "Apakah kalian memaafkannya?" keduanya menjawab, "Tidak, ya Amirul Mukminin, pembunuh ayah kami harus dibunuh." Umar berkata, "Wahai manusia siapa yang menjamin orang ini?"
Abu Dzar dengan kezuhudannya, kejujurannya dan ubannya maju ke depan. Dia berkata, "Ya Amirul Mukminin, aku menjaminnya." Umar meyakinkan, "Dia dibunuh." Abu Dzar menjawab, "Aku tahu." Umar bertanya, "Apakah kamu mengenalnya?" Abu Dzar menjawab, "Tidak." Umar bertanya, "Bagaimana kamu menjaminnya?" Abu Dzar menjawab, "Aku melihat ciri-ciri orang yang beriman. Aku tahu dia tidak berdusta. Dia akan datang insya Allah." Umar berkata, "Wahai Abu Dzar. Apakah kamu mengira aku membiarkanmu jika dia tidak kembali dalam tiga hari?" Abu Dzar menjawab, "Allahlah yang menolong ya Umar." Laki-laki pergi. Umar memberinya waktu tiga malam untuk menyiapkan diri, mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-anaknya. Menata urusan mereka sesudahnya kemudian kembali untuk diqishash karena dia telah membunuh.

Tiga malam berlalu. Umar tidak melupakan hari itu. Dia menghitung hari. Pada waktu ashar di Madinah diserukan, 'Ashalatu jami'ah'. Lalu pemuda itu datang. Orang-orang berkumpul. Abu Dzar datang dan duduk di depan Umar. Umar bertanya, "mana laki-laki itu?" Abu Dzar menjawab, "Aku tidak tahu ya Amirul Mukminin." Abu Dzar melirik matahari. Ia seperti berjalan cepat tidak seperti biasanya. Para sahabat diam dalam kekhawatiran. Mereka begitu cemas, hanya Allah yang mengetahui kecemasan mereka.

Benar Abu Dzar memiliki tempat khusus di hati Umar dan bahwa dia bisa memotong jasadnya untuknya jika dia mau, akan tetapi ini adalah syariat. Ini adalah manhaj, hukum Rabbani yang tidak boleh dipermainkan, tidak disimpan di laci untuk diperdebatkan kelayakannya, tidak dilaksanakan di satu waktu dan dibuang di waktu yang lain, hanya menyentuh beberapa kalangan saja, di satu tempat dan tidak di semua tempat.

Sesaat sebelum matahari terbenam, laki-laki itu muncul. Umar bertakbir, orang-orang ikut bertakbir bersamanya. Umar berkata, "Wahai orang ini jika kamu tidak kembali kami tidak mengenalmu dan tidak mengetahui rumahmu." Laki-laki itu menjawab, "Ya Amirul Mukminin, demi Allah bukan demi dirimu, akan tetapi demi yang mengetahui rahasia dan yang lebih samar. Inilah saya ya Amirul Mukminin, aku meninggalkan anak-anakku seperti anak-anak burung di pedalaman tanpa air dan pohon aku datang untuk dibunuh." Umar tertegun, dia berkata kepada kedua pemuda itu, "Bagaimana menurut kalian?" Dengan menangis keduanya menjawab, "Ya Amirul Mukminin karena kejujurannya kami memaafkannya." Umar bertakbir sementara air matanya menetes di jenggotnya.

Semoga Allah membalas kamu berdua dengan kebaikan wahai anak muda. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abu Dzar pada hari di mana engkau membantu kesulitan orang tersebut. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai orang itu karena kejujuranmu dan kesetiaanmu dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan ya Amirul Mukminin atas keadilan dan kasih sayangmu.
Dari Mausu’ah min Qashash as-Salaf, Ahmad Salim Baduwailan.

Kamis, 30 Juli 2009

Kehidupan Suami-Istri Kehidupan Persahabatan

Salah satu tujuan dari pernikahan adalah melahirkan ketenteraman (QS ar-Rum [30]: 21). Pernikahan akan menjadikan seorang suami merasa tenteram dan damai di sisi istrinya. Begitu pula sebaliknya.
Ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan pernikahan (suami-istri) mengharuskan adanya pergaulan dalam konteks persahabatan, bukan pergaulan antara penguasa dan yang dikuasai, atau antara pemerintah dan yang diperintah. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Persahabatan yang dibangun oleh keduanya adalah persahabatan yang dapat memberikan kedamaian satu sama lain.
Allah Swt. telah memerintahkan untuk menciptakan suasana pergaulan yang baik di antara suami-istri (QS an-Nisa’ [4]: 19).
Bergaul maknanya adalah berinteraksi secara intens dan penuh canda serta bersahabat dengan penuh keakraban. Allah Swt. juga telah memerintahkan agar para suami bersahabat dengan istri-istri mereka. Persahabatan keduanya akan menciptakan ketenteraman dalam jiwa dan kedamaian dalam hidup. Seorang suami tidak boleh membuat istrinya cemberut atau bermuka masam—meski dalam perkara yang tidak sampai menimbulkan dosa; senantiasa berlemah-lembut dalam bertutur kata, tidak bertingkah keji dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain selain istrinya. Begitu juga istri, dia melaksanakan ketaatan kepada suami bukan semata-mata karena terpaksa, namun karena ia sangat menginginkannya sebagai gambaran ketaatannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34). Ketaatan istri kepada suami akan dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan suami-istri
Ibnu Abbas pernah bertutur, “Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِي»

Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku. (HR. Ibnu Majah).
Rasulullah saw. adalah orang yang paling indah dalam bergaul dengan keluarganya. Beliau dikenal supel dan bijaksana dalam pergaulan, selalu menampakkan muka yang manis dan riang gembira, suka bergurau dengan istri-istrinya, lemah-lembut terhadap mereka, dan memberi nafkah rumahtangga yang cukup. Beliau bahkan pernah bergurau dengan cara mengumpulkan istri-istrinya tiap malam untuk makan di rumah tempat ia harus menginap menurut giliran, lalu setelah makan malam masing-masing kembali ke rumahnya sendiri. Beliau selalu tidur di bawah satu sarung bersama istrinya. Jika Beliau selesai shalat isya, Beliau tidak meninggalkan kebiasaan bercanda dengan istri-istrinya sebelum ia tidur.
Persahabatan dalam kehidupan suami-istri tidak menunjukkan hilangnya kepemimpinan dalam rumah tangga. Sebab, Allah Swt. telah menegaskan, bahwa suami adalah pemimpin atas istrinya (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Hanya saja, kepemimpinan suami atas istri di dalam rumah bukan berarti menjadikan dirinya sebagai orang yang bertindak otoriter yang tidak dapat dilanggar perintahnya. Oleh karena itu, seorang istri berhak menjawab dengan santun ucapan suaminya, berdiskusi dengan suaminya secara makruf dan turut serta dalam memberikan masukan kepadanya. Sebab, pada dasarnya, keduanya adalah dua orang sahabat, bukan pihak yang memerintah dan yang diperintah atau penguasa dan bawahan. Rasulullah saw., di dalam rumahnya, adalah sahabat karib bagi istri-istrinya, bukan penguasa yang otoriter terhadap mereka, meskipun Beliau adalah seorang kepala negara, panglima perang, politikus, sekaligus seorang nabi dan rasul.
Kiat-kiat Membangun Persahabatan Suami-Istri
1. Saling memahami.
Pernikahan adalah menyatukan dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda dan dua keluarga yang berbeda. Karena itu, suam-istri perlu saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta menerimanya dengan lapang dada tanpa ada penyesalan yang berkepanjangan. Kadangkala suami mempunyai kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi, sedangkan istrinya kurang. Sebaliknya, istri memiliki kemampuan manajemen, sedangkan suaminya lemah. Kelebihan yang ada pada salah satu pasangan tidak menunjukkan ketinggian orang tersebut, demikian juga kekurangan yang ada pada seseorang tidak menunjukkan dia rendah. Sebab, tinggi-rendahnya manusia di sisi Allah Swt. adalah karena ketakwaannya. (QS al-Hujurat [49]: 13). Saling memahami akan menjadikan suami-istri berempati terhadap pasangannya sehingga tidak mudah saling berburuk sangka. Sikap saling empati/memahami tidak berarti toleran terhadap kesalahan dan kelemahan yang dapat merugikan pasangannya. Namun, sikap ini memudahkan suami-istri untuk berpikir jernih sebelum memberikan pendapat, kesimpulan maupun penilaian. Kejernihan berpikir akan dapat memudahkan seseorang untuk bersikap dengan tepat dan benar terhadap pasangannya. Dengan itu, masing-masing akan terhindar dari kesalahpahaman yang memunculkan perselisihan dan pertengkaran. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 19).
2. Saling mencintai karena Allah Swt.
Saling mencintai karena Allah (mahabbah fillâh) antara suami-istri merupakan salah satu perekat persahabatan di antara mereka. Munculnya cinta karena Allah Swt. disebabkan karena keduanya memiliki keimanan dan melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya. Jika ada yang tidak disukainya dari pasangannya, itu karena ia tidak rela sahabatnya melakukan kemaksiatan dan kemungkaran kepada Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, berarti ia telah sempurna imannya.” (HR al-Hakim).
3. Saling menerima dan memberi.
Salah satu cara untuk mewujudkan persahabatan antara suami-istri adalah keduanya melaksanakan kewajibannya masing-masing sekaligus memenuhi hak-hak setiap pasangannya. Keduanya saling berlomba untuk menunaikan kewajiban yang akan menyebabkan hak pasangannya akan terpenuhi. Ibnu Abbas pernah bertutur, “Sungguh, aku suka berhias untuk istriku, sebagaimana ia berhias untukku. Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku yang wajib ia tunaikan untukku sehingga aku pun memenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuknya. Sebab, Allah Swt. telah berfirman (yang artinya): Para wanita/istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (QS al-Baqarah [2]: 228).”
4. Saling menasihati.
Manusia manapun tidak luput dari kesalahan. Persahabatan suami-istri akan mengantarkan setiap orang tidak pernah rela pasangannya melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak. Saling memberi nasihat merupakan wujud suatu hubungan yang saling mencintai karena Allah Swt. Sebab, tujuannya adalah dalam rangka menjaga ketaatan kepada Allah Swt. dan menjauhkan pasangannya dari melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Nasihat yang disertai dengan komunikasi yang tepat waktu dan tepat cara (lemah-lembut dan tidak menjustifikasi kesalahan) akan membuat pasangan yang dinasihati merasakan kesejukan dan ketenteraman dalam menerima masukan.
5. Saling tolong-menolong.
Kehidupan suami-istri adalah kehidupan yang berpeluang mengalami kesulitan-kesulitan seperti beban pekerjaan yang memberatkan, pemenuhan nafkah, pendidikan anak, dan lain-lain. Saling tolong-menolong akan dapat meringankan beban satu sama lainnya. Pada saat suami tidak dapat menyediakan pembantu rumah tangga, ia dengan rela membantu pekerjaan rumah tangga jika istrinya kewalahan melakukannya. Rasulullah saw. terbiasa menjahit sendiri bajunya yang robek dan memperbaiki sandalnya yang rusak tanpa memberatkan istri-istrinya. Begitu juga istri, pada saat suami mengalami kesulitan dalam pemenuhan nafkah untuk keluarga, tidak ragu-ragu untuk membantu dan meringankan suaminya. Namun, perlu dipahami, saling tolong-menolong bukan berarti kewajiban masing-masing bisa saling dipindahkan atau dihilangkan, misalnya suami mengurus rumah dan istri mencari nafkah. Sikap tolong menolong antara suami-istri akan semakin mempererat persahabatan di antara keduanya.
6. Saling memaafkan.
Kehidupan suami-istri tidak luput dari berbagai kelemahan, kesalahpahaman dan pertengkaran kecil. Hal-hal ini akan dapat merenggangkan hubungan persahabatan satu sama lain. Pada saat salah seseorang dari suami-istri melakukan sesuatu hal yang menimbulkan kemarahan, maka langkah yang perlu disuburkan oleh yang lainnya adalah menahan marah dan mudah saling memaafkan. Saling memaafkan satu sama lainnya adalah kunci untuk memelihara persahabatan antara suami-istri.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb

Selasa, 07 Juli 2009

PESONAMU

Pesonamu mengoyahkan diriku, senyumu membuatku selalu terkenang, kibar jilbabmu teguhkan dirimu dalam menapak kehidupan dalam syari'at, keikhlasanmu dalam mengarungi hidup dalam pesona dunia namun kau tak goyah, kibar jilbabmu ciri muslimah, diantara banyak gaya kau malah menutup dirimu, kau tinggalkan kenikmatan semu kau tutupi dirimu dengan busana muslimahmu, kau jalani hidup ini dengan keimanan, kau rengkuh ke Ridhaan Allah SWT tanpa kau takut celaan, betapa bangganya aku menyebutmu sebagai ISTRIKU

Selasa, 30 Juni 2009

SEPUTAR MAULID NABI

Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

"Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]

Senin, 29 Juni 2009

POSISI MANUSIA SEBAGI KHOLIFAH


Kerancuan terhadap kholifah yang sering diidentikkan dengan raja atau kepala Negara.
Apa dan siapa kholifah
Kholifah : memimpin dan mengendalikan makhluq berdasarkan syari’at dan qodar.
Syari’at : konsitusi / UU bagi makhluq
Qodar : kedudukan , ketentuan , parameter Setiap makhluq mempuyai qodar yang berbeda

Q.s (2) : 30-33

Artinya :
Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Rabb berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Minggu, 28 Juni 2009

PENYIMPANGAN MENJELANG KEMATIAN

Hudzaifah Ibnu Yaman RA berkata : " Adalah dahulu orang-orang gcmar bertanya kepada Rasuluttah SAW tentang perkara yang baik-baik, sementara aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena rasa takut hal itu akan menimpaku ". (HR. Bukhari).

Mari kita coba mengikuti Hudzaifah Ibnu Yaman RA untuk menyimak keburukan amalan yang banyak dilaku kan orang saat ini secara turun temurun. Yaitu masalah amalan yang menyimpang di kala berada di sisi orang yang mendekati ajalnya. Tentunya bukan bermaksud mengajak umat ikut melestarikannya, tapi berusaha meluruskan sesuai syari'at Islam, dalam ragka ta'awanu'alal birri wattaqwa, tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa. Juga sesama muslim wajib untuk saling berwasiat tentang kebenaran tawaashau bil haqqi (Q.S. Al'Ashr 103:3).
Oleh karena itu, mari kita berusaha meluruskan saudara-saudara kita yang melakukan beberapa amalan, mengikuti budaya budha, budaya hindu dan kejawen yang berdasarkan tradisi turun temurun semata, tanpa didasari syari'at Allah dan contoh dari Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswah.

Kamis, 25 Juni 2009

PENYIMPANGAN MENJELANG AJAL

Penyimpangan Menjelang Kematian
Hidzaifah Ibnu Yaman RA Berkata:.."Adalah dahulu orang-orang gemar bertanya kepada Rasulullah SAW tentang perkara yang baik-baik, sementara aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena rasa takut hal itu akan menimpaku...". (HR. Bukhari).

Rabu, 24 Juni 2009

I. Perang Muharram


Rujukan:
Hadits Rasul tentang lima zaman pemerintahan.
1. Khilafah Nubuwah.
2. Khilafah Rasyidah
3. Malikan Adhan.
4. Malikan Jabariyah.
5. Khilafah Alaa Minhajin Nubuwah.

(30): 2.
Telah dikalahkan bangsa Romawi,

Romawi dan Parsi adalah dua super power pada zamannya. Pergulatan antara keduanya dimenangkan oleh Romawi. Dua super power ini merupakan skenario Allah untuk menjaga benih khilafah, sehingga pertumbuhan masyarakat di lingkungan Rasul tidak diperhatikan, diabaikan.
span class="fullpost"> Revolusi telah dimulai sejak  abad 18 yaitu revolusi industri. Sebelumnya terdapat tiga kekuasaan yang dipegang oleh Raja, Gereja, dan Tuan tanah. Kesadaran masyarakat mulai tumbuh setelah merebaknya pendidikan.

Saat ini dua kekuatan itu berada di tangan Amerika dan Rusia. Rusia mengalami kejatuhan  1990 karena tumbuhnya tiga paham glassnot, perestroika, democraticia. Sesungguhnya keruntuhan dimulai sejak zaman Lenin dan dua muridnya (Trotsky dan Stalin) mereka berada pada bendera sosialis.

I. Perang Muharram 1424 H dalam Perspektif Tegaknya Khilafah Alaa Minhajin Nubuwah.

Rujukan:
Hadits Rasul tentang lima zaman pemerintahan.
1. Khilafah Nubuwah.
2. Khilafah Rasyidah
3. Malikan Adhan.
4. Malikan Jabariyah.
5. Khilafah Alaa Minhajin Nubuwah.

(30): 2.
Telah dikalahkan bangsa Romawi,

Romawi dan Parsi adalah dua super power pada zamannya. Pergulatan antara keduanya dimenangkan oleh Romawi. Dua super power ini merupakan skenario Allah untuk menjaga benih khilafah, sehingga pertumbuhan masyarakat di lingkungan Rasul tidak diperhatikan, diabaikan.
Revolusi telah dimulai sejak  abad 18 yaitu revolusi industri. Sebelumnya terdapat tiga kekuasaan yang dipegang oleh Raja, Gereja, dan Tuan tanah. Kesadaran masyarakat mulai tumbuh setelah merebaknya pendidikan.

Saat ini dua kekuatan itu berada di tangan Amerika dan Rusia. Rusia mengalami kejatuhan  1990 karena tumbuhnya tiga paham glassnot, perestroika, democraticia. Sesungguhnya keruntuhan dimulai sejak zaman Lenin dan dua muridnya (Trotsky dan Stalin) mereka berada pada bendera sosialis.

Kapitalisme yang naik berubah menjadi imperialisme, bila ia turun akan berubah menjadi fasisme. Semua kekuasaan di atas membutuhkan bahan tambang.

Rabu, 11 Maret 2009

Pedoman Pengenalan Rubbubiya

PEDOMAN PENGENALAN RUBBUBIYAH
Q.s (3): 14-16.
Artinya : 14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
15. Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?." Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Bashiirul Bili’baad.
16.(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Rabbi, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka”

Senin, 12 Januari 2009

Kewajiban seorang Jundi

AL-MAHABBAH
&
KEWAJIBAN SEORANG JUNDI
Q.s (5) : 54
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari Diennya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, dan bersikap keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Waasiun ‘Aliim”.
Orang-orang yang mundur kebelakan atau berlepas diri dari komunitas mukmin dan
Dienullah maka Allah akan mendatangkan suatu qaum :
  1. Mereka mencintai Allah, dan Allah pun mencintai mereka (inilah mahabbah)
  2. Bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, namun berlemah lembut terhadap sesama mukmin Q.s (48) : 29
”Muhammad itu adalah Rasulullah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (mukmin)”.
  1. Tidak takut terhadap celaan (Izzatul Ummah)